1. Penjual Asongan
Ketika aku ayunkan kakiku ke luar dari tempat kerjaku munuju sebuah warung makan
tempat langggananku. Sehabis makan siang tiba - tiba seorang anak kecil
menawarkan dagangannya berupa kue - kue untuk
cemilan.
“Om beli om!” Katanya sambil memperlihatkan dagangannya.
’’Maaf ya de aku
tidak beli”Aku jawab dengan ringan
“Ayolah om beli satu saja mungkin om suka !“ Katanya
memintaku.
Aku menoleh ke arah anak itu dia tersenyum menatapku, dengan
tatapan anak itu membuat jantungku ku berdetak kencang. Melihat bibirnya yang
mungil walau dia kumal,mengingatkan aku kepada seseorang tapi entah siapa. Ku
hentikan langkahku dan aku menyerah seperti terhipnotis dengan tatapan anak itu
dan parasnya, walaupun dia itu kucel dan rambutnya sedikit acak-acakan dengan
pakain yang lusuh dan hanya memakai sandal jepit yang sudah usang sepertinya
dia habis berjalan jauh,terlihat dari wajahnya yang memelas dan sangat letih. Aku
sodorkan uang limapuluh ribu dan aku mau pergi begitu saja. Namun tetap dia tidak mau menerima pemberianku
dengan menggelengkan kepalanya dan
menolak dengan tangan mungilnya.
’’Maaf ya om, saya bukan pengemis,tapi jualan. Kata mamah
juga walau kita tidak memiliki apa - apa jangan meminta - minta, harus makan dari hasil keringat diri
sendiri.’’ Dia berkata dengan gaya polosnya anak - anak. Kata-katanya membuat
aku ternganga, mengingatkan kembali kepada seseorang yang entah siapa,pernah
mendegar kata –kata itu.
“Baiklah aku beli kuenya, emang berapa harganya?“ Kata ku
sambil
mengambil dompet di saku celanaku, karena tadi habis gajian itung- itung
sedekah aja deh padahal perutku sudah kenyang tadi makan. Kasihan juga anak itu
dengan gigihnya dia jualan dan menawarkan kepadaku,mungkin dia ingin cepat habis karena sudah lelah.
‘’Tinggal sepuluh lagi om .” Dia membuka wadah kuenya.
“ Ya sudah aku beli semuanya.”Aku borong semua kue yang
dia jual. Anak itu memasukan
kue yang aku beli ke kantong plastik hitam.
“Jadi berapa semuanya?” Tanyaku.
“Semuanya dua puluh
ribu om.”Jawabnya sambil memberikan kantong plastik itu.
“Kembaliannya tigapuluh ribu ambil saja buat kamu .“ Kataku
sambil memberikan uang lima puluh ribu. Ketika aku tanya tinggal di mana dia tidak menjawab seakan akan tidak
mendengarnya dan mengalihkan pembicaraan.
“Iya ,terimakasih ya,om baik sekali .“Dia kegirangan
karena jualannya laris semua.
“Kamu kecil-kecil sudah pandai jualan. Ini jualan,ibu
kamu yang membuat ?”Ku ambil sekeresek makanan dari anak kecil itu.
“Tidak om ,saya hanya jualan yang punya orang.”Katanya
sambil menutup wadah kue tersebut dan
pergi dengan penuh kegirangan.
Anak itu pergi lalu menghilang di telan mulut gang, tapi
kenapa perasaan jadi tidak enak begini, merasa ada yang membuat penasan dengan anak itu. Membuatku menjadi bertanya - tanya dalam pikiranku. Tapi kan di kota seperti ini
yang jualan seperti anak itu banyak sekali, mungkin aku saja yang sedang
baperan.
Perutku masih kenyang, sehingga kue itu aku berikan
kepada bapak - bapak yang sedang menggali tanah dipinggir jalan untuk
pemasangan kabel telephon sepertinya. Aku memberikan kepada bapak –bapak itu
untuk menambah makan siangnya. Luar biasa menurutku bapak – bapak itu mereka berjuang merantau ke kota besar untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Siang hari, kalau cuaca sedang
panas dia terbakar dengan panasnya matahari kota yang begitu panas membakar semua hati penduduknya untuk bersaing mencari nafkah demi keluarganya. Apabila musim hujan mereka menggigil kedinginan Karena basah
kuyup dari terpaan air hujan yang dibawa angin. Tempat tidur pun
tidak ada masalah di manapun yang
penting mata bisa terpejam, walau
harus bertemankan nyamuk dan
bisingnya kendaraan. Mereka adalah pejuang rupiah, demi keluarga mereka berani
berkorban tidak pernah lelah dan tidak pernah menyerah. Makanya malu
kalau ada anaknya hanya bisa meminta uang saja tidak mau tahu bagaimana kerasnya perjuangan
seorang ayah seperti itu. Paling miris apabila
aku memperhatikan ada anaknya yang sekolah tapi gayanya
selangit, pergi sekolah selalu kesiangan
karena nongkrong dan merokok dengan
teman-temannya. Mereka bukanya belajar
yang bener untuk masa depan
mereka agar masa depan menjadi cerah.Mereka
hanya bisa menghambur-burkan uang dari orang tuanya. Mereka menggunakan
orang tuanya untuk hal - hal yang tidak
benar.
Ketika aku memberikan makanan itu kepada mereka, sungguh mereka sangat bahagia terukir dari senyumnya
yang sangat ihklas. Tanganya yang kekar dengan warna kecoklatan dililit dengan
otot-otot yang keras pertanda dia pekerja hebat.
‘’Terimakasih, nak .‘’ Kata bapak itu sambil mengambil
kantong kresek dariku. Dia membungkukan badan pertanda ucapan terimaksih kepadaku. Sesekali dia mengelap keringat di
dahinya yang sudah berkeriput menandakan sudah tidak muda lagi,dengan
menggunakan handuk kecil yang sudah penuh noda hitam tanda sering digunakanya.
Orang tua itu mengingatkanku dengan bapakku yang dulu di kampung dia adalah seorang buruh tani. Beliau pekerja keras
pagi siang dan sore hanya
berkutat dengan lumpur di sawah orang
demi dapur agar selalu ngepul dan
juga anaknya agar bisa sekolah. Anaknya
hanya aku saja Alhamdulilah aku bisa sekolah dengan segala perjuanganku
dan tentunya dari doa semua orang yang
aku cintai terutama dari ayah dan ibuku.
Walau dengan segala kesulitan yang aku alami,aku tetap berjuang sampai
lulus dari sekolahku. Perjuangan memang perlu pengorbanan tapi akhirnya aku
lulus juga sebagai sarjana komputer. Tapi
ilmuku tidak ada artinya waktu di
kampung halamanku, karena di kampungku
tidak ada yang memiliki komputer
dan belum ada internet. Sarjana komputer
seperti aku tidak ada artinya waktu itu sehingga aku
pergi mengadu nasib di ibu kota, sehingga
menemukan jalan walau aku harus terhempas dari kehidupan. Dahulu aku pikir
setelah beres skripsiku dan gelar
telah aku sandang dan baju toga telah aku kenakan selesai juga perjuangan. Tapi justru
setelah lulus itulah perjuangan kehidupan baru di mulai. Apalagi sekarang
persaingan hidup semakin ketat
sarjana bukan lagi suatu
kebanggaan lagi seperti dahulu. Karena
sebenarnya bukan hanya berkbekal ijasah saja tapi perlu keakhlian. Kadang aku miris juga dengan para remaja yang hanya hura- hura saja mereka pikir hidupnya itu akan sukses
dengan mengandalkan hayalan saja. Tapi seakarang aku harus
menjalankan takdirku yang sebagai
karyawan perusahaan di ibu kota yang
menjadi mata pencaharianku.
Ketika aku duduk dimeja kerjaku aku masih mengingat peristiwa
tadi diwarung itu dengan anak kecil yang mungil. Aku tidak tahu itu siapa tapi
detak jantungku berdebar. Mungkin itu hanya
perasaanku yang sedang baperan
dan ada kesamaan dengan kehidupanku yang pernah aku jalani dahulu. Setiap aku
ingat anak itu aku buang jauh - jauh pikiranku
dan harus konsentrasi kepada pekerjaanku, namun bayangan anak itu terus menggodaku seakan dia bertenger di atas
pelupuk mataku. Setiap bayangan anak itu datang
aku menepisnya dengan pekerjaanku
sebagai pengalihan pikiranku.
Jam pulang pulang
telah tiba karena sudah jam empat sore lebih, kebetulan hari itu tidak
ada lembur. Semua karyawan pulang berhamburan
seperti burung yang keluar dari sangkarnya. Karena seharian
hanya duduk berkutat dengan data di depan komputer dengan ac
terus menyala.
Manusia memang sangat lucu seperti aku
ketika sebelum mendaptkan pekerjaan,
ingin sekali bekerja tapi setelah
mendaptkan pekerjaan kadang jenuh dan stress dengan pekerjaan itu. Untukku
sekarang aku sangat bersyukur dngan
pekerjaan ini karena sesuai dengan
keahlianku dan ilmu yang aku
pelajari dibangku sekolahku dahulu. Lebih
baik lelah bekerja daripada lelah
mengangur, karena ribuan bahkan mungkin
jutaan orang di luar sana ingin bekerja seperti aku di depan meja menghadapi komputer dengan tidak kepanasan dan baju
bersih, tapi tidak semua orang bisa
seperti itu. Jadi tidak alasan untukku sekarang kecuali harus menikmati dan mensyukuri pemberian Tuhan
yang maha rohman saja. Bukankah orang
yang tidak bersyukur kepada nikmat yang
diberikan tuhan, dia akan diberikan siksaan. Tapi kalau dia pandai bersyukur dia
akan diberikan nikmat - nikmat yang
lainnya atau ditambah nikmatnya. Begitu yang aku dengar dari seorang kiyai waktu
hutbah di masjid ketika Sholat Jumat.
Sebelum aku pulang
ke rumah aku sempatkan untuk mampir dahulu ke Masjid di mulut gang, karena belum sholat Asar. Pak Somad
seorang marbot dan juru parkirpun sudah kenal betul denganku. Kadang dia tidak mengambil uang parkir motorku,gratis. Karena
aku juga suka membantu Pak Somad pekerjaanya
di masjid itu. Apabila Kalau habis gajian kadang aku suka bawakan tentengan untuk Pak Somad. Aku suka bergaul dengan mereka karena aku suka belajar kehidupan dari
mereka.
Pak Somad sangat
rajin dalam menjalankan amanah warganya
dalam merawat Masjid Baiturohman.
Pak somad dulunya seorang kuli bangunan yang serabutan sekarang dia mengabdikan diri
di masjid ini. Untuk makan anak dan istrinya sudah cukup apalagi sekarang sebagian anak anaknya sudah ada
yang mendapat pekerjaan.
Sekarang diusianya yang sudah tidak muda lagi, dia hanya ingin
mengabdikan menjadi marbot di masjid ini.
Ketika kita bisa
berbagi kepada orang lain sebenarnya
yang paling bahagia adalah orang yang
berbagi itu. Jadi ketika bisa
berbagi kepada orang lain sedangkan hati
kita bahagia disitulah keihlasan melekat tapi kalau tidak ada kebahagiaan maka bisa dipastikan itu
keterpaksaan dan bisa kurang iklas. Sehingga ketika kita berbagi merasa ringan tidak ada
beban tetapi kalau keterpaksaan maka yang akan terjadi adalah beban berat
karena pelit.
“Terimakasih nak bingkisannya,Semoga kerjanya lancar.” Pak
somad mengucapkan terimakasih ketika aku
memberikan tentengan.
“Sama sama pak, aku pulang dulu ya pak Assalamualaikum.” Aku ambil kunci motor
dari tasku yang setia menemaniku, aku pamitan kepada Pak Somad.
“Waalakumusalam nak hati hati ya!”kata pak somad sambil
tersenyum menjawab salamku.
Suasana sore yang
begitu cerah namun tidak secerah suasana hatiku. Walaupun di luar suanana meriah banyak orang menikmati sore itu. Namun hati dan
pikiranku sudah diselimuti dengan
bayangan wajah anak pedagang asongan
tadi.
Sepanjang jalan seakan anak itu terus
menertawakan aku dan dia selalu
mengikutiku dia seperti hantu. Seperti
orang kena guna guna cinta oleh seorang wanita aku terus kepikiran dan bayangan
anak itu selalu hadir dalam setiap langkahku.
Komentar
Posting Komentar